Pages

Wednesday, August 25, 2010

Saat Bulan Purnama...


Gambar dipinjam dari sini
Malam ini, kita bertiga duduk berjejer di teras rumah, barengan tengadah ke langit melihat bulan. Bulan purnama. Ya..kebetulan saat ini bulan bersinar terang dalam bulatan yang penuh. Ini kali pertama kita bisa menyaksikan bersama benda langit yang indah itu.

Pertama bagiku bisa menyaksikan bulan bersama suami dan anakku. Biasanya aku menyaksikan sendiri bulan-bulan yang lain dari bulan sabit, bulan setengah lingkaran dan bulan purnama. Dan pertama bagiku menyaksikan bulan dalam jeda waktu yang cukup lama. Biasanya aku hanya tengadah, melihat bulan di atas sana dan bergumam,”Oh..ada bulan..” Lalu masuk ke dalam rumah dan tidak keluar lagi untuk menyaksikannya.

Pertama pula bagi suamiku melihat bulan bersama istri dan anaknya. Biasanya dia hanya menatap sekilas seperti yang biasa aku lakukan. Dan sudah pasti, pertama pula bagi anakku yang menjelang tiga tahun usianya melihat bulan. Dia terbiasa melihat bulan-bulan sabit di malam-malam yang lalu tapi tidak selama malam ini.

“Itu bulannya gede banget..Andro mau pergi ke bulan..”, kalimat pertama Andro muncul diantara hening kami menyaksikan bulan.

“O,ya..Andro mau ? Naik apa nak ?”

“Naik pesawat..”

“Besok kalau Andro sudah gede ya..nanti di bulan mau ngapain ?”

“Mau main-main aja..”

Kita bertiga tertawa. Sungguh, kebersamaan ini terasa indah adanya. Menyatukan rasa kagum yang sama akan keindahan langit di malam hari.

“Itu ada bintang..banyak..,” pandangan Andro beralih dari bulan. Mata kami ikut mencari-cari.

“Iya..banyak sekali ya bintangnya..indah..kerlip-kerlip..”

Mata Andro berkedip-kedip, takjub menatap ribuan bintang yang bertebaran di langit sana.

Bintang kecil..di langit yang biru..amat banyak, menghias angkasa..aku ingin..terbang dan menari..jauh tinggi ke tempat kau berada…”

Andro menyanyi diiringi tepukan tangan dari bapak ibunya. Bangga..

“Oh..itu ada pesawat…,” Andro berteriak lagi..

Memang benar, ada pesawat yang melintas. Mungkin itu pesawat terakhir yang terbang hari ini. Sinar lampunya kerlap-kerlip membelah kegelapan malam.

“Apakah pesawatnya mau ke bulan Mama ?”

Aku sejenak terdiam. Berpikir jawaban apa yang masuk akal untuk kuberikan..

“Sepertinya tidak sayang..itu pesawat komersil yang akan mendarat di bandara..”

“Kenapa tidak ke bulan ?”

“Bulan itu jauh sekali sayang, kalau pakai pesawat biasa tidak akan mungkin sampai ke sana, harus dengan pesawat yang khusus..”

“Mama..bulannya hilang..pergi kemana ya ?”

Awan gelap menyelimuti. Bulan tertutup awan.

“Bulannya ketutup awan..”

Aku teringat, biasanya malam bulan purnama begini ada pertunjukan Sendratari Ramayana di Candi Prambanan. Masih adakah pertunjukan itu ? Mungkin saja, tapi aku belum pernah menyaksikannya secara langsung.

Saat-saat seperti ini, aku juga teringat akan lagu dolanan bocah tradisional Jawa, Padhang Bulan..

Yo prakanca, dolanan neng njaba..
(Ayo teman bermain di halaman )

Padang bulan, bulane kaya rina..
( Terang bulan, bulannya seperti siang..)

Rembulane..ne..sing ngawe-awe..
( Rembulannya..nya..memanggil-manggil..)

Ngelikake ojo pada turu sore..
(Mengingatkan jangan tidur sore-sore )


Monday, August 23, 2010

Andro Mau Bisnis...


Andro terlelap dalam pangkuanku. Melihat wajahnya saat tidur begitu, ibaku tumbuh. Dia bagaikan malaikat kecil yang memberi kedamaian. Beda sekali saat dia terjaga, tingkah polahnya sangat aktif. Membuatku berkali-kali harus mengejarnya, berteriak, dan akhirnya kelelahan saat menjaganya. Baru kusadari ternyata tidak gampang menjadi seorang ibu. Butuh pengorbanan dan waktu. Ada kalanya terselip rasa bangga saat banyak orang melihat Andro berkata," Duh, cakepnya, anak siapa ini ?"

“Mama..mau pergi kerja ya..?”

Ucap Andro setiap kali melihatku sudah rapi hendak berangkat kerja.

“Iya..mama mau bisnis..”, ucapku tanpa dipikir.

“Bisnis..? Mama..Andro mau ikut bisnis. Andro ikut mama bisnis..”

Andro merengek berulang-ulang. Aku tertawa. Tak menyangka Andro meniru ucapanku.

“Sayang, mama mau kerja, bisnis, cari uang buat beli susunya Andro..”

Tampak Andro berpikir sejenak.

“Beli telur juga kan, Ma ? Beli mainan, beli baju, beli vitamin, beli rumah, beli mobil..”

Ah..pemahaman luar biasa, nak. Tak kukira sedemikian cepatnya pola pikirmu. Berapa waktu yang telah terlewat tanpa sempat kulihat perkembangannya. Memang, jarak toko dan rumah tidak seberapa. Tapi meninggalkan Andro beberapa jam saat bekerja membuatku kehilangan beberapa momen baru yang kadang tidak sempat aku ketahui. Aku sebagai ibunya tidak menjadi yang pertama atas perkembangannya. Selalu aku ketahui dari mbak Ikem, yang mengasuh Andro dari pagi hingga sore.

“Tadi dik Andro main sandiwara sendiri Bu, bicara sendiri kalau mama lagi kerja, cari uang..trus liat gambar-gambar..”

“Tapi nggak rewel kan ?”

“Nggak Bu, tadi asyik nyanyi dan mewarnai sendiri..”

Syukurlah, Andro bukan tipe anak yang suka rewel. Walau kadang ada sifat manja, tapi saat diberi pengertian, dia akan mengerti. Sesekali aku ajak Andro ke toko supaya melihat kegiatan ayah ibunya berjualan mencari uang. Saat akan tutup toko pun, Andro paling semangat membantu ayahnya menggelindingkan ban-ban ke dalam. Andro hanya tertawa saat tangan-tangannya menghitam kena kotoran yang menempel di ban.

“Nanti cuci tangan..”, katanya sambil menatapku dan ayahnya.

Ah..Andro, masih panjang perjalanan hidupmu. Masih panjang pula perjuangan ayah dan ibumu dalam merintis usaha bersama ini.

Mungkin beda saat di zona nyaman menjadi karyawan dulu, yang bisa kita prediksi penghasilan setiap bulannya. Tapi sekarang, saat toko ramai ataupun sepi, berkawan dengan ketidak pastian, kita harus siap menghadapi semuanya. Semua demi meraih impian kita bersama, Nak..kita berjuang bareng-bareng dari nol..Okey..?




Wednesday, August 4, 2010

Gubug Tengah Sawah


Judith pernah ada di suatu masa, masa dimana kebanyakan orang menganggapnya sebagai suatu masa yang sulit, tapi Judith bisa menikmatinya……

Suatu masa dimana keterpurukan menjadi nyawanya, tapi Judith bisa mengecap rasa bahagia…....

Suatu masa dimana penderitaan menjadi peran utamanya, tapi Judith tidak merasakan apa itu sengsara……

Tawa selalu menggema dari bibirnya, kebersamaan menjadi kekuatan yang mengusir rasa sedihnya……

Masa itu ada di sekitar tahun 1980-an. Saat Judith masih lekat dengan ingus dan seragam putih merah menjadi seragam kebanggaannya.. Seragam yang dipakai berulang-ulang hingga kerahnya berwarna coklat kotor oleh keringat yang menempel, yang hanya satu pasang dipunya, hingga setiap 3 hari sekali, sepulang sekolah Judith harus cepat-cepat mencuci baju kotornya sambil berharap semoga matahari cukup terik bersinar hari itu, sehingga bisa mengeringkan bajunya.

Segera setelah kering ataupun jika terpaksa hanya setengah kering, digosoknya baju itu dengan setrika berkepala ayam jago yang berbahan bakar arang sebagai pemanasnya. Dikipas-kipasnya setrika itu supaya arang mampu berpijar dan sesekali mulutnya meniup abu yang beterbangan menghalau supaya abu-abu itu tidak menempel di seragamnya yang aslinya putih tapi kini sudah berubah warna menjadi broken white itu. Seragam yang menjadi bukti bahwa dirinya masih beruntung bisa menikmati bangku sekolah, sekalipun orang tuanya tidak berharta dan seringkali mendapat julukan sebagai kaum papa yang terpinggir.

Judith tinggal di sebuah rumah atau tepatnya gubug di tengah sawah, setelah berkali-kali pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan yang lain. Keadaan ini jauh lebih beruntung jika dibandingkan dengan sekian banyak orang yang tinggal di pinggir kali dengan kardus-kardus bekas yang dibentuk sedemikian rupa menjadi rumah-rumahan. Walaupun dinding gubug ini adalah gedeg dari anyaman bambu, dan atapnya dari seng bekas yang sesekali bisa terbang saat angin berhembus kencang menemani hujan yang turun deras dan disambut dengan kilat dan petir yang menggelegar, namun Judith dan keluarganya tetap masih bersyukur karena tidak dipungut bayaran atas sewa tanah sawah ini. Semua itu karena kebaikan hati pemilik pabrik tekstil tempat bapak Judith bekerja sebagai petugas keamanan.

Di tengah sawah ini, Judith berteman dengan sang kodok yang bernyanyi di malam hari, ditemani pula oleh kerlip indah si kunang-kunang. Judith juga berteman dengan pohon singkong tahun yang tumbuh lebat di samping gubugnya, yang batangnya cukup kuat menopang tubuhnya saat terayun di dalam selimut yang pinggirnya ditalikan membentuk semacam perahu ayunan. Tak jarang Judith sampai terlelap di dalam ayunan ini ditemani semilir angin yang sepoi-sepoi.

Di lain waktu, Judith juga bertegur sapa dengan ular sawah yang ditemuinya di pematang sawah saat Judith hendak pergi sekolah di pagi hari. Judith juga bebas menikmati malam-malam saat bulan purnama ataupun saat langit bertaburan banyak bintang. Judith menikmati semuanya. Alam menjadi sahabat terbaik Judith dan semua yang ada di sekitarnya dijadikannya teman tanpa kecuali, sekalipun beberapa diantaranya adalah benda mati.

Sekali waktu Judith bisa berlama-lama berada di sungai kecil yang tak jauh dari gubugnya. Kadangkala sendiri atau kerapkali bersama dengan teman-teman sekolah Judith. Bermain dan bersenda gurau dalam kecipak air sungai yang masih jernih, tertawa riang saat tangan-tangan kecilnya membalas menyipratkan air sungai ke tubuh teman-temannya. Tak peduli bajunya yang basah, atau kaki-kakinya yang berlumuran lumpur saat tanpa sengaja terlempar ke dalam genangan sawah tak jauh dari sungai. Tak ada rasa khawatir akan sakitkah mereka nanti. Gelak tawa dan canda saling bersahutan diantara pelototan mata sang pemilik sawah yang gusar karena sawahnya terinjak-injak. Semuanya berlari menghindari amarah yang lebih hebat dari para petani tadi.

Semuanya mengalir begitu saja, begitu lepas dan semakin ruah saat hujan tiba-tiba tercurah dari langit mengguyur tubuh-tubuh mungil itu tanpa permisi. Sorak kegirangan terlontar begitu nyata. Menikmati hujan yang menyambut mereka dengan ramah tanpa pernah bertanya apa status sosial mereka, ataupun sekedar bertanya berapa jumlah uang saku yang mereka punya. Hujan yang senantiasa tulus mengisi keceriaan mereka yang tak pernah dimanjakan dengan uang ataupun gelimangan harta. Hujan yang setia menjalankan tugasnya sebagai pemberi berkah di bumi. Hujan yang tidak minta balas jasa atas keriangan yang telah mereka rasakan. Hujan yang turun tanpa pamrih. Hujan yang tidak pernah mencoba melawan takdirnya memberikan kesejukan dan kebahagiaan.

Seringkali saat senja menjelang, Judith mengayuh sepeda tuanya menuju warung terdekat membeli minyak tanah untuk mengisi lampu teplok. Di lingkungan sekitar Judith tinggal, listrik bukanlah barang langka, tapi keluarga Judith belum mampu untuk menggunakannya. Setiap hari rutinitas ini dijalankan Judith atau sesekali bergantian tugas dengan kakak-kakak laki-lakinya. Sudah hal biasa jika minyak tanah itu tumpah sedikit mengenai tangan Judith dan berbau. Judith seringkali kesal menyadari kecerobohannya sendiri.

Saat malam hari, Judith belajar dengan penerangan lampu teplok. Matanya seringkali memicing membaca tulisan di buku pelajarannya. Kadang-kadang Judith menyesali kenapa tidak belajar di siang hari saja saat matahari masih mampu memberikan penerangan yang lebih dari sekedar lampu teplok. Tapi siang hari Judith sering disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga menggantikan tugas ibunya yang bekerja sebagai tukang cuci dan tukang masak di sebuah rumah orang kaya yang punya usaha kost. Dan seringkali Judith tertidur kelelahan setelahnya. Jadi, lewatlah sinar matahari siang itu dengan percuma, kecuali saat Judith mencuci baju-bajunya.

Pernah suatu waktu saat Judith sedang belajar di malam hari, tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh dari atas atap gubugnya, tepat mengenai kepalanya. Judith terlonjak kaget dan lebih terkejut lagi ternyata sesuatu itu adalah seekor ular. Saat itu bapak ibu dan kakaknya juga sedang berkumpul belum ada yang tertidur. Jadilah beramai-ramai mereka mengusir ular itu keluar dan terpaksa dibunuh kemudian dibuang ke tempat yang jauh dari gubugnya. Judith sedikit ngeri membayangkan jika ular tadi berhasil membelit atau menggigit dirinya atau anggota keluarganya. Syukurlah, kengerian itu tidak terjadi.