Pages

Monday, June 13, 2011

Happy Birthday, Ibu..

Gambar diambil dari sini



Hari ini ulang tahunmu. Memasuki usia manula, KTP pun sudah seumur hidup. Rentang waktu yang cukup panjang untuk pendewasaan diri. Setelah lelah membesarkan anak-anakmu termasuk aku, mungkin ini saatnya kau beristirahat. Menikmati hidup yang mungkin tinggal beberapa saat atau masih lama lagi. Terserah pada kehendak Tuhan.


Beberapa waktu ini kita sering berselisih paham. Tentang caramu mendidik anakku, yang juga cucumu. Kuanggap tak sesuai dengan standart didikan yang kudapatkan dari buku, majalah ataupun internet yang sering aku baca. Padahal, aku dulu kau didik sama seperti mendidik cucumu sekarang. Kenapa dulu aku tak pernah protes ?


Lalu, seringkali aku bersungut-sungut saat kau meminta uang untuk keperluan mandimu seperti sabun, shampoo dan lain sebagainya atau untuk sekedar jajan. Kuanggap seperti anak kecil yang suka jajan. Pemborosan. Padahal dulu, demi membesarkanku, kau rela bekerja sebagai pembantu menjadi tukang cuci, tukang masak atau baby sitter.

Saat usia merenta, saat fisikmu tak sekuat dulu lagi, kau mudah terjatuh sakit. Tak mampu lagi menafkahi diri sendiri sehingga harus berpindah dari satu anak ke anak yang lain. Seringkali aku menganggapmu sebagai beban yang harus aku tanggung. Menyudutkanmu dengan berbagai alasan bahwa kau bukanlah orang tua yang baik karena tidak mampu mempunyai rumah sendiri untuk ditinggali. Apalagi sepeninggal bapak, tak banyak yang mampu kau kerjakan. Tak mampu mengatur uang. Sehingga kadang aku malu karena aku tidak pernah punya rumah sendiri selalu mengontrak dari satu rumah ke rumah yang lain.


Ah..bagaimanapun kau adalah wanita yang pernah melahirkanku. Baik burukmu, kau tetap ibuku. Setidaknya aku bisa menjadi seperti sekarang karena pengorbananmu. Semestinya begitu pikiranku, tapi seringkali kelakuanku padamu seperti seorang anak yang durhaka kepadamu.


Tak jarang aku membentak saat tak setuju dengan pendapatmu. Menganggapmu kurang pengetahuan. Merasa bahwa aku paling pintar. Dan seringkali pura-pura aku tidak melihat kilatan di sudut matamu. Aku tetap merasa paling jumawa. Hatiku keras membatu bahkan ketika tanpa sengaja aku mendengar isak tangismu di malam hari.


Aku selalu bingung dengan sikapku. Selalu sulit untuk sekedar mengucap sebuah kata maaf. Maaf untuk apa ? Bukankah selama ini kita hanya berselisih paham ?


Sampai suatu waktu aku tersadar, tanpamu..aku tak akan pernah ada. Kebaikanmu selama ini tak mampu aku balas sebaik apapun aku padamu. Terlebih dengan sikap burukku selama ini. Apalagi, saat inipun aku telah menjadi orang tua. Apa jadinya jika suatu hari nanti anakku pun bersikap seperti aku bersikap kepadamu. Owh..tak mampu aku bayangkan, rasanya tinggal menunggu waktu saja.


Semestinya, aku tak perlu terlalu hitung menghitung. Harta benda yang aku punya, tidaklah aku bawa mati. Menjadi peninggalan untuk anak-anakku. Mestinya sekuat tenaga pula aku berkorban untukmu, layaknya pengorbananmu kala aku masih bayi hingga sekarang. Mestinya, aku tak perlu mendengarkan pendapat orang lain tentangmu. Luar dalam aku lebih mengenalmu daripada mereka. Keburukan yang terlihat, tak sebanyak kebaikan yang pernah aku terima. Semestinya aku menyerahkan semuanya kepada Tuhan, yang akan memberikan pembalasan setimpal akan perbuatanku kepadamu. Bagaimanapun, Tuhan telah memilihmu untuk menjadi malaikat penjagaku, seburuk apapun penilaianku kepadamu. Semestinya, akupun menyadari bahwa akupun bukan anak yang sempurna untukmu.


Ibu, maafkan aku..selamat ulang tahun untukmu. Semoga aku mampu menikmati waktu yang masih ada bersamamu. Sudah semestinya aku bersyukur karena masih memilikimu sebagai orang tuaku satu-satunya. Ini kesempatanku untuk membahagiakanmu..