Pages

Tuesday, April 21, 2015

Memberi Saat Kekurangan

Adalah pak Sarpo, sosok yang sangat sederhana. Rumahnya mungil, dari bilik bambu di sebuah pedesaan yang sepi. Ia tinggal bersama istrinya yang sama rentanya. Pekerjaannya sebagai pengupas kulit biji jambu monyet yang biasa disebut mete. Ya, mete tergolong makanan yang cukup mahal. Rasanya enak dan gurih. Per kilogramnya bisa mencapai harga kurang lebih sembilan puluh ribu rupiah tergantung pasar. 

Namun tahukah kalian jika pekerjaan mengupas kulit mete yang keras adalah pekerjaan yang tidak mudah ? Dibantu dengan alat khusus semacam pisau dari besi, pak Sarpo setia dengan profesinya. Upah mengupas mete per kilogramnya lima ribu rupiah. Murah ? Memang. Satu kilogram mete itu banyak. Saya membayangkan besarnya resiko jika tak sengaja terkena pisau yang tajam dan terkena getah mete, yang setahu saya bisa membuat kulit gatal dan melepuh.

Ceritanya, saya ndandakke mete dari satu pohon yang saya punya. Nggak banyak, mungkin sekitar seperempat kilo saja. Sebenarnya bisa menunggu supaya lebih banyak, namun anak saya sudah merengek ingin segera merasakan mete dari pohon sendiri. Oleh pak Sarpo disuruh menunggu satu hari pengerjaan selesai karena masih harus menyelesaikan pesanan orang lain yang ndandakke mete 14 kg. Wow..

Sebelumnya, saya juga pernah ndandakke mete di tempat ini juga. Dan gak banyak. Sama pak Sarpo waktu itu mete saya ditukar dengan mete yang sudah dikupas karena jumlah mete yang saya bawa tidak banyak. Saat saya akan membayar, kata pak Sarpo tidak usah bayar, gratis saja. Wah, saya tidak enak ati, tapi beliau tetap tidak mau menerima uangnya.

Saya punya harapan, kedatangan saya kali ini, meskipun dengan jumlah mete yang saya dandakke masih sedikit, pak Sarpo mau dibayar berapapun itu. Bahkan saya tidak keberatan jika harus membayar seharga jasa mengupas satu kilogram mete. Dan keesokan harinya saat saya akan membayar, pak Sarpo tetap bilang tidak usah, cuma sedikit kok..waduuuhhh...

Saya jadi mikir, lain kali saya mau mengupaskan mete malah tidak enak dikasih gratis. Maka saya berusaha mengumpulkan mete lebih banyak dari sebelumnya. Dan sekarang, saya yakin jika mete yang akan saya dandakke lagi lebih banyak tapi tetap belum ada satu kilogram.

Lalu saya datang lagi ke pak Sarpo. Seperti biasa, saya menunggu keesokan harinya untuk diambil. Kali ini saya bertekad, mau tidak mau dibayar, tetap akan saya bayar. Profesional dong pak..kan bapak sudah capek. Masak jasanya tidak mau dihargai.

"Pinten pak ?", tanya saya.
"Pun mboten sah, namung sekedik.."
"Wah, mboten pak..kala wingi sampun gratis kok..pun monggo.."
"Mboten sah, mboten napa-napa.."
"Ah, mboten pareng ngoten pak.."
Lalu saya menghampiri istri pak Sarpo dan memberikan uang yang telah saya siapkan tanpa menghiraukan ucapan pak Sarpo. Istrinya tidak menolak. Ah..tahu begitu dari kemarin saya kasih istrinya saja.
"Matur nuwun pak.."

Lalu bergegas saya meninggalkan rumah itu dengan rasa haru. Pak Sarpo, dalam kekurangannya masih mau memberi, berbagi tanpa mengharap imbalan yang seharusnya pantas dia terima. Jasa manual yang tergolong minim upahnya itu masih dia potong dengan harga gratis. Ah..saya jadi malu. Apa saya bisa seperti itu..memberi tanpa mengharapkan pamrih. Langka di jaman sekarang yang notabene kebanyakan orang berlomba-lomba mengejar banyak materi. 

Betapa kaya hatimu, pak Sarpo. Dengan memberi saat kekurangan, Tuhan akan melebihkan rejeki Bapak. Amin.




Alat pembuka biji mete (gambar dipinjam dari sini )